Senin, 09 Januari 2012

NILAI PERSEDIAAN ( AKUNTANSI KEUANGAN)

BAB I PENDAHULUAN 
A. Pendahuluan  
Tingkat sediaan sangat menentukan parusahaan dalam menjamin keberhasilan proses produksi dan memenuhi permintaan pelanggan. Selain itu jenis aset mempengaruhi kelancaran usaha pengecer. Dibanyak perusahaan, sediaan merupakan bagian yang signifikan dari aset lancar, karena biasanya jumlah sediaan menyumbangkan persentase yang cukup tinggi dari total aset lancar. Yang tidak kalah pentingnya, sediaan juga dapat mempengaruhi besarnya laba.   Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi pada PT. Indofarma Tbk. Pada kasus ini nilai yang disajikan dalam laporan keuangan PT Indofarma pada 2001 lebih tinggi dari nilai yang seharusnya dilaporkan (press release yang dikeluarkan oleh Bapepam pada 8 November 2004). Penyajian nilai lebih tersebut terdeteksi dari overstated penyajian nilai barang dalam proses yang tercantum dalam laporan keuangan 2001 yang mencapai Rp28 miliar.   Akibat kelebihan penyajian tersebut, nilai harga pokok produksi menjadi lebih rendah dari nilai yang seharusnya dilaporkan (understated). Karena harga pokok produksi rendah, maka berakibat pada penyajian laba yang lebih tinggi dari seharusnya untuk jumlah yang sama.  Mengacu pada kerangka dasar penyajian laporan keuangan, penyajian laba yang lebih tinggi berdampak pada penyajian informasi yang menyesatkan dan tidak andal sehingga merugikan pengambil keputusan. Dari contoh kasus tersebut, dapat kita lihat pentingnya menentukan nilai sediaan yang benar.

BAB II PEMBAHASAN 

Persediaan adalah barang yang diperoleh perusahaan yang dimaksudkan untuk dijual kembali atau diolah lebih lanjut dalam rangka menjalankan kegiatan usaha normalnya. Persediaan dalam perusahaan pengolahan akan terdiri atas persediaan bahan baku dan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi.  Apabila selama perusahaan menyimpan persediaan terjadi inflasi maka perusahaan akan mendapatkan laba semu akibat kenaikan harga ini. Laba semu ini yang disebut dengan istilah holding gains merupakan laba yang tidak tersedia untuk dibagikan sebagai dividen. Manajemen dan pembaca laporan keuangan harus menyadari tentang adanya holding gains ini, agar tidak mengambil keputusan yang keliru.  Persediaan merupakan elemen aktiva lancar yang penting, sebab sukses tidaknya perencanaan dan pengawasan persediaan akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan suatu perusahaan. Elemen persediaan akan berpengaruh terhadap penentuan laba perusahaan, penentuan tingkat likuiditas perusahaan, dan kebenaran penyajian neraca.  Akuntansi persediaan dapat dilakukan dengan dua cara, sistem berkala, dan sistem permanen. Dalam sistem berkala pembelian barang dagangan atau bahan baku akan dicatat dalam rekening Pembelian. Pada akhir periode akan dihitung jumlah barang atau bahan baku yang masih ada. Kemudian, melalui jurnal penyesuaian terhadap persediaan, barulah dapat ditentukan jumlah harga pokok penjualan atau jumlah pemakaian bahan baku.  Dalam sistem permanen setiap pembelian barang atau bahan baku langsung dicatat dalam rekening Persediaan. Demikian juga pada saat penjualan atau pemakaian barang atau pemakaian baha baku, jumlah harga pokok barang yang dikeluarkan langsung dikredit pada rekening Persediaan, sedangkan debetnya dicatat dalam rekening Harga Pokok Penjualan atau Pemakaian Bahan Baku.   Penilaian Persediaan  Persediaan tidak hanya menunjukkan jumlah persediaan yang berada di gudang perusahaan saja, tetapi meliputi juga barang-barang milik perusahaan yang masih ada dalam perjalanan yang dititipkan pada perusahaan lain (barang konsinyasi), dan barang-barang secara ekonomis masih di bawah penguasaan perusahaan.  Kesalahan penyajian di dalam persediaan akan mengakibatkan kesalahan dalam laporan keuangan. Kegagalan antuk mencatat pembelian dan utang usaha, memang tidak akan berpengaruh terhadap laba perusahaan, tetapi akan berpengaruh terhadap rasio lancar perusahaan.  Persediaan sebagaimana dengan aktiva lain akan dicatat sebesar harga perolehannya (cost) Hinga perolehan persediaan mencakup seluruh beban atau pengeluaran yang diperlukan untuk menempatkan persediaan atau memproses menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Dengan demikian, secara teoretis batas pengangkutan, biaya proses pembelian, biaya penyimpanan harus dialokasikan sebagai bagian dari harga perolehan persediaan.  Beban periode tidak boleh dikapitalisasi dalam persediaan. Namun dalam kasus tertentu (discrete projects) beban bunga yang berkaitan dengan pembuatan kapal atau pembangunan real estate harus dikapitalisasi sebagai bagian dari aktiva yang bersangkutan.  Potongan pembelian harus diperlakukan sebagai pengurang dari pembelian, tidak dicatat sebagai pendapatan lain-lain. Cara pencatatan pembelian dapat dilakukan dengan mencatat pembelian sebesar jumlah brutonya atau mencatatnya sejumlah netonya. Apabila menggunakan cara yang kedua, potongan pembelian yang tidak diambil akan dicatat dalam rekening Kerugian Potongan Pembelian yang akan disajikan dalam perhitungan laba rugi sebagai elemen biaya lain-lain. Jumlah ini dapat digunakan sebagai alat pengukur efisiensi manajer keuangan di dalam mengelola keuangannya.  Persediaan barang dalam proses dan barang jadi berisi kumpulan biaya-biaya, seperti biaya pemakaian bahan baku, tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik. Dalam perusahaan industri perhitungan biaya pembuatan persediaan ini, biasanya dengan menggunakan skedul laporan tersendiri. Sediaan dapat terdiri dari barbagai macam jenis tergantung sifat bisnis perusahaan. Tanah ataupun mesin produksi dapat dikatagorikan sebagai sediaan bukan aset tetap. Jika perusahaan bergerak dalam bidang pengembangan perumahan/Real estate (developer) maka tanah dapat dikatagorikan sebagai jenis sediaan dalam bidang bisnis ini. Dilain pihak, bagi perusahaan yang memproduksi mesin-mesin berat untuk berproduksi, maka mesinmesin yang dihasilkan dapat dikatagorikan sebagai sediaan, bukan aktifa tetap.   Dengan demikian klasifikasi utama sediaan tergantung dari operasi bisnis. Menurut PSAK No. 14 paragraf 05 (Revisi 2008) menyatakan bahwa sediaan adalah : “ aset yang (1) tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal, (2) dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, (3) dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa. Dari definisi tersebut, maka sediaan meliputi : 1. Barang yang dibeli dan disimpan untuk dijual kembali (barang dagang) 2. barang jadi yang telah diproduksi 3. barang dalam penyelesaian yang sedang diproduksi 4. bahan baku yang digunakan dalam proses produksi. Dalam hal pencatatan sediaan, maka akuntansi mengenal 2 sistem pencatatan sediaan yaitu:   
1. Metode Perpetual (metode buku) Metode ini menyediakan catatan yang berkelanjutan tentang saldo akun sediaan dan akan harga pokok penjualan sehingga pada akhir periode, nilai sediaan dapat langsung ditentukan tanpa harus melakukan perhitungan fisik sediaan dan harga pokok penjulan juga langsung dapat ditentukan.  
2. Metode Periodik (metode fisik) Dalam metode ini, sediaan barang pada akhir periode ditentukan dengan menghitung secara fisik sediaan yang ada kerena pada saat pembelian sediaan, dicatat dalam rekening “pembelian” bukan “sediaan “. Harga pokok penjualan ditentukan dengan mengurangkan “biaya tersedia untuk dijual” dengan “sediaan akhir A.  Metode Laba Bruto Menaksirkan kos sediaan dengan menggunakan metode laba bruto didasarkan pada hubungan antara laba bruto dan penjualan. Metode ini dipakai apabila presetase laba bruto terhadapa penjualan relative sama dari priode ke priode, metode LB berguna apabila: 1. Perusahaan menggunakan system priodeik dan membutuhkan laporan keuagan iterim padahal sebagaimana telah dijelaskan biaya untuk melekukan perhitungan fisik cukup mahal. 
 2. Sediaan susut, hilang, terbakar, atau rugi lainya padahal tidak tersedia data yang dibutuhkan untuk menaksirkan sediaan 
3. Diperlukan alat untuk menguji validitas nilai sediaan yang diperoleh dengan metode lain.  Agar dapat bergunake tiga poin diatas maka presentase laba bruto haruslah merupakan pengukur yang andal terhadap keadaan sekarang. Presentase yamg andal didasarkan pada pngalaman priode – riode sebelumnya dan disesuaikan dengan perubaan yang masih di anggap berlaku sekarang. Presentase LB didasarkan pada : 1. Penjualan  2. HPP  
1.1 Berdasarkan Penjualan  
Persediaan akhir ditentukan dengan cara persediaan awal ditambah dengan pembelian selama satu periode kemudian dikurangi dengan harga pokok barang yang dijual pada periode yang bersangkutan. Untuk menentukan harga pokok penjualan, penjualan yang telah dicatat dalam rekening penjualan dikurangi dengan laba kotornya. Umumnya laba kotor ini sudah diketahui %-nya. Jika belum diketahui, % laba kotornya digunakan % laba kotor tahun-tahun sebelumnya. Misalkan persediaan awal tahun 2005 100.000,- pembelian 1.200.000,- dan penjualan 900.000,- dan laba kotor 20% dari harga jual, maka persediaan akhir dapat dihitung sebagai berikut: Persediaan 2005                   100.000 Pembelian  2005                         1.200.000 + Barang tersedia untuk dijual                      1.300.000 Penjualan                900.000 Laba Kotor (20% x 900.000)        180.000 Harga pokok barang yang dijual                        720.000  - Persediaan akhir                        580.000 HPP dalam rupiah adalah 100% dikurangi 20% = 80% dan dalam rupiah adalah 900.000,- = 720.000,- . LB adalah 20% x 900.000 = 180.000,-. Kos sediaan akhir adalah kos sediaan siap untuk di jual – HPP  1.2 Berdasarkan HPP Jika HPP menjadi dasar untuk perhitungan LB maka LB di hitung dari HPP dengan asumsi 100%, Misalkan diket : penjualan  900.000- laba bruto 25% dan kos sediaan 1.300.000,- , Hitunglah Penjula dalam presentase, HPP dalam rupiah, rupiah LB, dan Kos sediaan akhir HPP       100% (+) Laba Bruto     25% Penjulaan      ?   Penjualan dalam presentase adalah 100% + 25% = 125%, HpP adalah 125% x 900.000,- = 1.125.000,-, LB Adalah 25% x 1.125.000,- = 281.250,-,kos sediaan akhir adalah 1.300.000,- - 1.125.000,- = 175.000 
Agar metode LB dapat digunakan, empat elemen berikut harus ditentukan di tentukan lebih dahulu :  
1. Kos sediaan awal  2. Kos pembelian neto selama 1 priode 3. Penjulan  4. Presentase laba bruto  Dengan terpenuhinya empat elemen ini maka penaksiran dan pesediaan akhir dengan meted LB dapat dilakukan, metode LB biasanya diterpkan untuk menghitung sediaa dalam kasus kebakaran atau pencurian . Contoh menghitung sediaan yang seharus nya ada dan sediaan terbakar.  Informasi sediaan dari PT ABC adalah sebagai berikut : Sediaan 1 Januari  100.000,-,    Laba Bruto 40% Pembelian 1 januari 1.200.000,-,  Penjualan 900.000 Berapakah nilai Kos Sediaan yang seharusnya ada dan berapa rugi sediaan yang terbakar? Penyelesaian :  HPP 60% = 540.000,-   Persediaan Januari 2005         100.000 Pembelian Januari   2005                1.200.000 + Barang tersedia untuk dijual                      1.300.000 HPP         540.000,-  - Sediaan akhir yang seharusnya masih ada    760.000,- Sediaan akhir yang sesungguhnya masih ada     0    - Rugi sediaan yag terbakar       760.000,-   Jadi juranal  untuk menyesuaikan rekening – rekening bersangkutan dengan sediaan dan kerugian kebakaraan adalah :  Jan 01 Harga pokok penjualan 100.000,-              Sediaan awal   100.000,-        Harga pokok penjualan  1.200.000,-              Pembelian   1.200.000,-        Rugi kebakaran  760.000,-            Harga pokok penjualan   760.000,-   

B.  Metode Harga Jual Eceran   Dalam metode harga jual eceran maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut. 
1. Persediaan awal ditentukan nilainya baik berdasarkan harga pokok maupun berdasarkan harga jual ecera 2. Setiap kali ada pembelian maka harus ditentukan harga pokok maupun harga jualnya. 
3. Menentukan perlakuan terhadap perubahan harga jual eceran (kenaikan harga pembatalan kenaikan harga, penurunan harga dan pembatalan penurunan harga serta potongan-potongan khusus dan adanya barang yang rusak). 
4. Menentukan persentase harga pokok terhadap harga jual  Presentase Kos jika Aliran kosnya menggunakan metode rata – ratadihitung dengan rumus : Presentase kos =   Barang Tersedia di jual menurut kos      Barang tersedia di jula menurut harga jual eceran  Hasil presentase kemudian dikalikan dengan sediaan akhir priode yang di hitung menurut HJE. Metode harga jual eceran ada 3 macam : 
1. FIFO (First In First Out), barang yang masuk terlebih dahulu dianggap yang pertama kali dijual/keluar sehingga persediaan akhir akan berasal dari pembelian yang termuda/terakhir. 
2. LIFO (Last In First Out), barang yang terakhir masuk dianggap yang pertama kali keluar, sehingga persediaan akhir terdiri dari pembelian yang paling awal. 3. Rata-rata (Everage), pengeluaran barang secara acak dan harga pokok barang yang sudah digunakan maupun yang masih ada ditentukan dengan cara dicari rata-ratanya. Contoh : 1. Penaksiran kos sediaan akhir – metode HJE rata- rata  Kos (RP) HJE(RP) Sediaan awal 120.000 200.000 (+) Pembelian  520.000 800.000 Barang tersedia untuk dijual 640.000 1.000.000,-    % kos=(640.000/1.000.000,-) x 100%= 64%   (-) Penjualan   700.000,- Sediaan akhir – HJE  300.000,-  T. kos sediaan akhir = 4% x 300.00,- 192.000,-  Dengan menggunakan metode rata- rata presentase kos tidak dipisahkan antara sediaan awal dan pembelian. Contoh : 2. Penaksiran kos sediaan akhir- Metode HJE MPKP dan MTKP   Kos HJE Sediaan awal  120.000 200.000 % kos sediaan awal(120.000/200.000)x 100% = 60%   (+) Pembelian  520.000 800.000 % kos pembelian(520.000/800.000)x 100% = 65%   Barang tersedia untuk dijual 640.000 1.000.000    (-)Penjualan   7.000.000 Sediaan akhir HJE  300.000 T. Kos sediaan akhir-MPKP = 65% x 300.000 195.000  T. Kos sediaan akhir-MTKP    60% x 200.000,- = 120.000-   65% x 100.000,- = 65.000,-    Total  = 185.000,- 185.000,-   Perusahaan yang menggunakan metode HJE dapat memetik keuntungan sebagai berikut : 1. Dapat menaksirkan kos sediaan akhir priode tanpa harus melakukan perhitungan fisik .  2. Dapat menghemat waktu dan biaya karena taksiran kos sediaan tidak perlu menunjukan pada kos dan faktur secara individual; 3. Dapat menentukan dan memantau kerugian akibat pencurian . hal ini dapat ditunjukan dengan membandingkan antara perhitungan fisik dan taksiran yang semuanya mendasarkan pada HJE  1.1 Markups Dan Markdowns Beberapa istilah yang diapaki dalam metode HJE yanag masih mengalami perubahan – perubahan : 1. HJE mula – mula ( original reality) yang pertama kali diterapkan , yaitu kos + markup mula mula, contoh perusahaan membeli barang daganagan 1.000 unit dengan kos 10/u, ditetpkan  markup 5/u, jadi HJE mula – mula adalah 15/u, atau totalnya 15.000,- 2. Markup tambahan ( Audittional Markup) yaitu kenaikan harga diatas HJE mula – mula, contoh, 300 unit terjual relative singkat. Jadi 300 x 15 = 4.500,- dan sediaan yang tersissa adalah 1.00 unit – 300 unit = 700 unit. Manajemen meutuskan bahwa HJE sediaan yang masih tersisah dinaikan Rp.2,5 sehingga menjadi 17,50 dalam markup ini, markup tamabahan adalah 2,50 x 700 = 1.750 3. Pembatalan markup ( markup cencellations) yaitu penurunan markup tamabhan yang tidak mengurangi harga jual bawah HJE mula – mula, misalkan setelah HjE naik 17,50 jummlah yang terjual 200 unit , jadi penjualan 200 x 17,50 = 3.500,- dan sediaan yang tersissa 700 unit – 200 unit = 500 unit, kemudain untuk mendorong penjulan selanjutnya, pihak manajemen mengubah HJE menjadi Rp. 16,- , jadi terdapat pembatalan markup 1,50/u atau totalnya 1,50 x 500 = 750,-  4. Markup neto dalah markup tambahan – pembatalan markup  5. Markdown adalah penurunan HJE dibawah HJE mmula – mula, contoh setelah harga di tetapkan 16,-  jumlah terjual menjadi 250 unit jadi penjualan 16 x 250 = 4.000,- dan sisa sediaaan 500- 250 = 250 unit, manajemen HJE memutuskan HJE diubah 13,-/u jadi terdapat penurunan HJE 2,-/u totalnya 250 x 2 = 500,- dari HJE mula – mula.  6. Pembatalan markdwons, yaitu penurunan dalam markdown yang tidak naik HJE diatas HJE mula – mula contoh, setelah HJE menjadi 13,- jumlah barang yang terjual 150 unit, jadi penjulan 13 x 150 = 1.950,- dan sediaan tersisa 250 – 150 = 100 unit, kmudian HjE dinaikan menjadi 14,-  7. Markdown neto aadalah markdown dikurangi pembatalan markdown contoh 500 – 100 = 400,-   Terdapat 2 metode dalam meneteukan taksiran kos sediaan yaitu metode rata – rata dan metode konvensional. Dengan metode apapaun kita harus menentuka presentase kos HJE. Perbedaan ke dua metode ini terletak pada perhitungan barang yang siap djual menurut HJE, pada metode rata – rata baranag yang siap diual menurut HJE adalah sediaan awal di tamabh pembelian ditamabah markup neto dan kemudian dikurangi markdown neto. Pada metode konvensional barang yang siap dijual Menurut HJE adalah sediaan awal + pembelian + markup neto teteapi tidak dikurangi markdown neto. Contoh nya adalah : Metode HJE Rata- rata  Keterangan Kos (RP) HJE(RP) Sediaan awal 0 0 (+) Pembelian  10.000,- 15.000,- (+) Markup neto(1.750 – 1000)  750 Markdown Neto  ( 500 – 100)   (400) Barang tersedia untuk dijual  10.000,- 15.350,- % kos = 10.000/15.350 x 100% = 65,15%   (-) penjualan  (15.000) Sediaan akhir – HJE   350 T. kos sediaan akhir = 65,15% x 350  228   Metode HJE- Konnvensional  Keterangan Kos(Rp) HJE(Rp) Sediaan awal 0 0 (+) Pembelian  10.000,- 15.000,- (+) Markup neto(1.750 – 1000)  750,- Barang tersedia untuk dijual  10.000,- 15.750,- % kos = 10.000/15.750 x 100% = 63,50%   (-) penjualan  (15.000,-) (-)Markdwon neto ( 500- 100)   (400,-)  Sediaan akhir – HJE   750,- T. kos sediaan akhir = 63,50% x 350  222,25,-   

1.2 Metode HJE Dengan Presentase Laba Yang Berbeda – Beda  Perusahaaan yang menjual berbagai jenis sediaan, seperti maall, dan sebaginya dan menetapkan presentase laba yang berbeda- beda untuk masing masing  jenis sediaan sebaiknya menyelenggarakan catatan yang terpisah . hal ini untuk menentukan kos setiap jenis sediaan secara lebih teliti.    Barang A  Barang B  TOTAL   Kos (Rp) HJE(Rp) Kos (Rp) HJE(Rp) Kos (Rp) HJE(Rp) Sediaan awal 14.000 19.600 7.000 10.500 21.000 31.100 (+) pembelian bersih 39.900 57.400 14.000 24.500 53.900 81.900 Barang tersedia dijual 53.900 77.000 21.000 35.000 74.900 112.000  Presentase kos 70%  60%  66%  (-) penjualan   56.000  21.000  77.000  Sediaan akhir 14.700 21.000 8.400 14.000 22.440 34.000  C.  Metode HJE MTKP – Nilai Rupiah   Metode HJE MTKP – Nilai rupiah adalah penerapan MTKP – nilai rupiah pada perusahaan yang menggunakaan metode HJE. Metode ini menerapkan presentase kos lapisan penambahan setiap priodeny. Untuk menentukan presentase kos lapisan penambahan ini sediaan awal diabaikan. Namun untuk menghitung jumlah sediaan HJE yang sediaan akhir, sediaan awanya ikurt diperhitungkan. Berikut adalah contoh kos lapisan penambahan MTKP – Nilai rupiah diterapkan dalam metode HJE.  Kos(Rp) HJE(Rp) Sediaan akhir 2003 menurut HJE  50.000  (+) Pembelian 43.050 58.000 (+) markup neto   5.600 (-) Markdwon neto   (2.100)  Total untuk menentukan % kos lapisan penambah  43.050 61.500  % Kos lapisan tambahan 43.050/61.500=70%   Barang tersedia untuk dijual (Harga eceran)  111.500 (-) Penjulan   (21.500)  Sediaan akhir 2004 berdasarkan HJE  90.000       Data Indeks Harga  Tahun Lapisan Indeks Harga akhir tahun Presentase kos Sediaan Pada HJE akhir tahun ( Rp) 2000 1,00 0,60 42.000 2001 1,05 0,62 48.510 2002 1,10 0,64 53.900 2003 1,12 0,65 50.000 2004 1,08 0,70 90.000  D.  Penilaian Selain Kos 1.1 Lower of cost and net realizable value – PSAK No. 14 Dalam penentuan nilai sediaan per unit, maka nilainya didasarkan pada prinsip biaya (Cost basis). Nilai sediaan yang ditentukan berdasarkan cost basis disebut dengan metode harga pokok (cost method). Metode ini dapat digunakan dalam keadaan dimana tidak terjadi penyimpangan (karena perubahan tingkat harga, atau keusangan, atau kerusakan) terhadap prinsip biaya historis atau nilai sediaan tidak menurun dibawah biaya awalnya (kos awal). Dengan kata lain “Prinsip Biaya Historis Tidak Dapat Diterapkan Apabila Kemampuan Untuk Menghasilkan manfaat (pendapatan) Masa Depan Tidak Lagi Sebesar Biaya Awalnya.  PSAK 14 (revisi 2008) paragraf 23 menyatakan “Biaya persediaan, kecuali yang disebut dalam paragraf 21,2 harus dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP) atau rata-rata tertimbang. Entitas harus menggunakan rumus biaya yang sama terhadap semua persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama. Untuk persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda, rumusan biayayang berbeda diperkenankan”.  Paragraf 23 tersebut menunjukkan bahwa untuk menghitung kos sediaan, metode kos yang dapat diperkenankan adalah menggunakan metode FIFO dan WEIGHTED-AVERAGE COST. Namun, dari dua metode tersebut, entitas harus konsisiten dalam menerapkan metode yang dipilih pada jenis sediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang sama. Untuk sediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda maka metode kos yang digunakan dapat juga berbeda. Paragraf ini juga menegaskan bahwa LIFO sudah tidak diperkenankan lagi.    Metode kos dengan menggunakan FIFO dan WEIGHTED-AVERAGE COST biasanya digunakan untuk menentukan nilai sediaan apabila pada akhir periode akuntansi nilai sediaan tidak mengalami perubahan atau sama dengan cost awal. tetapi, apabila nilai sediaan yang ada ditangan mengalami penurunan atau kenaikan (berubah) atau tidak sama dengan kost awal maka nilai sediaan yang akan dilaporkan pada laporan posisi keuangan tidak dapat lagi ditentukan dengan menggunakan dasar kos. Dalam kondisi tersebut diatas maka sediaan harus diukur dengan menggunakan Nilai terendah antara kos dan net realizable value (the lower of cost and net realizable value). Hal ini sesuai dengan apa yang tertera pada PSAK No. 14 paragraf 8 (revisi 2008), yang menyatakan bahwa: “Sediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi bersih, mana yang lebih rendah”.  PSAK no.14 ini mengadadopsi IAS no.2 yang menyatakan bahwa Nilai terendah antara kos dan net realizable value (selanjutnya akan disebut NRV) harus digunakan sebagai basis dalam penilaian sediaan. Sebelum diadopsinya PSAK 14 (revisi 2008), standar akuntansi keuangan Indonesia mengharuskan menilai sediaan dengan menggunakan metode Lower cost or market (LCM) sehingga jika kita liat maka perbedaan penilaian sediaan antara PSAK 14 lama dengan PSAK 14 (revisi 2008) terletak pada nilai pasar (berdasarkan PASK 14 sebelum revisi 2008) dan nilai realisasi bersih (berdasar PSAK 14 revisi 2008).  Dalam PSAK paragraf 5 dinyatakan bahwa NRV adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan. NRV mengacu kepada jumlah neto yang entitas berharap untuk direalisasi dari penjualan persediaan dalam kegiatan usaha biasa. 4 Sedangkan nilai pasar (market) mengacu pada kos untuk mengganti item sediaan dengan cara membeli atau dengan cara produksi. Dalam penentuan nilai pasar melibatkan batas atas (upper limit) dan batas bawah (lower limit). Upper limit mengacu pada nilai NRV sedangkan lower limit mengacu pada nilai NRV dikurangi dengan margin profit normal. Untuk mengaplikasi NRV, perlu diingat bahwa kos adalah nilai akuisisi sediaan yang dihitung dengan menggunakan salah satu dasar kos historis, yaitu FIFO atau waighted-average cost.  Sedangkan NRV adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan. Untuk mengilutrasikan aplikasi perbandingan penentuan nilai sediaan dengan menggunakan ke-dua metode, maka dimisalkan Sedato Company memiliki data berikut terkait sediannya (yang dinilai dengan menggunakan basis individu) .  Item Kos Replacement Cost Etimasi Harga Jual Biaya Penyelesaian Normal Profit Margin A Rp. 2 1,8 2,50 0,50 24% B       4 1,6 4,00 0,80 24% C      6 6,6 10,00 1,00 18% D      5 4,75 6,00 2,00 20% E      1 1,05 1,20 0,25 12,5%  Dari data tersebut perhitungan nilai sediaan akhir dengan menggunakan metode the lower of cost and net realizable value adalah sebagai berikut:   Item Kos Etimasi Harga Jual(A) Biaya Penyelesaian(B) NRV  (A-B) Lower A Rp. 2 2,50 0,50 2,00 2,00 B       4 4,00 0,80 3,20 3,20 C      6 10,00 1,00 9,00 9,00 D      5 6,00 2,00 4,00 4,00 E      1 1,20 0,25 0,95 0,95 Total 18    15,95  Selisih kos dan nilai NRV= 2,05  Dengan menggunakan metode LCNRV maka jurnal penyesuaian yang dibutuhkan untuk mengakui danya penurunan nilai dari kos ke NRV (dengan menggunakan metode cadangan) adalah :  Loss Due to Decline of Inventory to Net realizable Value ............Rp 2,05 Allowance to reduce Inventory to Net realizable Value ........... Rp 2,05 Rekening “Allowance To Reduce Inventory To NRV” akan disajikan pada Neraca sebagai faktor pengurang sediaan (inventory) yang tampak sebagai berikut : Inventory (at Cost) ………………………………….................... Rp 18 Allowance To Reduce Inventory To NRV ................…… 2,05 Inventory value (at NRV) ……………………….................. Rp 15,95  Jika data tersebut digunakan untuk menghitung nilai sediaan dengan menggunakan metode Lower cost or market (LCM), maka perhitungannnya adalah:   Item Kos Etimasi Harga Jual(A) Biaya Penyelesaian(B) NRV (A-B) Batas Bawah Replacement Cost Market LCM A     2 2,50 0,50 2,00 1,40 1,8 1,80 1,80 B    4 4,00 0,80 3,20 2,24 1,6 2,24 2,24 C    6 10,00 1,00 9,00 7,20 6,6 7,20 6,00 D    5 6,00 2,00 4,00 2,80 4,75 4,00 4,00 E    1 1,20 0,25 0,95 0,80 1,05 0,95 0,95 Total 18       14,99 Selisih kos dengan pasar= 3,01    Dengan menggunakan metode LCM maka jurnal penyesuaian yang dibutuhkan untuk mengakui danya penurunan nilai dari kos ke nilai pasar (dengan menggunakan metode cadangan) adalah :  Loss Due to Decline of Inventory to market ......... Rp 3,01 Allowance to reduce Inventory to market ................ Rp 3,01 Rekening “Allowance To Reduce Inventory To NRV” akan disajikan pada Neraca sebagai faktor pengurang sediaan (inventory) yang tampak sebagai berikut : Inventory (at Cost) ………………………………….................... Rp 18 Allowance To Reduce Inventory To market ................…… 3,01 Inventory value (at market) ……………………….................. Rp 14,99  2.1 Penerapan LCNRV Per jenis Sediaan  Metode LCNRV dapat diterapkan per jenis sediaan, kos dan nilai realisasi bersih ( NRB) setiap jenis sediaan di bandingkan untuk mengetahui manakah dari dua nilai tersebut yang lebih rendah. Penerpan prosedur untuk perjenis persediaan menghasilkan nilai yang terendah dibandingkan dengan perkelompok atau agregat. Contoh :  Jenis sediaan ( B. Dagangan) Kos ( Historis) NRB( Talsiran Harga Jual- Taksiran B. Pemasaraan Yg Lebih Rendah Antara kos & NTB Kelompok I    Produk A 525.000 490.000 490.000 Produk B 840.000 910.000 840.000 Produk C 210.000 196.000 196.000 Produk D 126.000 147.000 126.000     Kelompok II    Produk E 276.500 224.000 224.000 Produk F 182.000 161.000 161.000 Produk G 105.000 119.000 105.000     Kelompok III    Produk H 273.000 203.000 203.000 Produk I 121.000    135.000 121.000  2.658.000  2.466.100         Penururnan Rp. 1925.500   Berdasarkan prosedur perhitungan , maka nilai yang disajikan dalam neraca Apabila LCNRV diterapkan pejenis sediaan adalah Rp.2.466.100, yang berarti terdapat penururanan nilai dari historis. Jumlah penuruananya adalah Rp. 2.658.600 dikurangi Rp. 2.466.100, = Rp. 192.500, penurunan nilai sediaan ( PNS) ini sebagai pengrangan nilai sediaan dengan jurnal penyesuaiian.   Des 31 Rugi- PNS 192.500             Sediaan   192.500   ( Mencatat Penurunan Nilai sediaan LCNRV/jenis)    2.2 Penerapan LCNRV Per Kelompok Sediaan  Metode LCNRV dapa diterapkan perkelompok sediaan jikia ini lebih sesuai daipada penerapan perjenis , kos dan NRB setip kelompok sediaan di bandingkan untuk mengetahui mana di antara dua niali tersebut yang lebih rendah.(contoh yang digunakan sama dengan contoh sebelumnya) Jadi nilai yang disajikan apabila LCNRV diterpkan dalam perkelompok sdiaan yaitu Rp. 2.543.100, yang berarti terdapat penurunan nilai kos historis. Jumlah penurunan adalah Rp. 2.658.600, dikurangi Rp. 2.543.100  = Rp. 115.500, penurunan  ini di akui sebagi pengurangan nilai sediaan dengan membentuk cadangan penurunan nilai sediaan.  Des 31 Rugi- PNS 115.500             Cadangan PNS  115.500  Penurunan nilai sediaan berdasarkan kelompok mengkreditkan cadanagn PNS, alih – alih sediaan. Rekening pembantu sediian masing – masing jenis secra individual yang mengalami penurunan nilai tidak perlu dikredit.  2.3 Penerapan LCNRV Secara Agregat ( Total)  Metode LCNRV dapat diterapkan secara agregat ( total) dan ini lebih tepat sebeb penurunann nilai yang dialamai oleh jenis sediaan tertentu akan di imbangi oleh kenaikan nilai jenis sediaan lainya. Kos historis dan NRB secara agregat dibandingkan dan gunakanlah nilai terendah dari duan nilai tersebut. Contoh digunakan seperti contoh sebelumnya.  Penurunan nilai menurut LCNRV secra agregat  adalah Rp. 173.500,- di akui sebagai pengurangan nilai sediaan dengan membentuk cadangan penurunan nilai sediaan. Jurnal penyesuaian untuk penialaian ini.   Des 31 Rugi- PNS 173.500             Cadangan PNS  173.500   ( Mencatat Penurunan Nilai sediaan LCOM/Agregat)     2.4 Cadangan PNS Dan Pemuliahan  Rekening cadangan PNS merupakan rekening penlaian dan menjadi kontra rekening persediaan sehinngga di neraca disajikan sebagi pengurangan rekening sediaan. Penjualan barang dangangan pada priode berikutnya tidak perlu memperhatika rekening cadangan. Rekening cadanagn dibiarkan sampai akhir tahun berikutnya. Penyesuaian dibut lagi mengikuti keadaan yang terjadi pada akhir tahun tersebut. Bilaterdapat penuruanan nilai yang lebih besar, maka rekening cadangan PNS dikredit lagi. Sebaliknya, bila terjadi pemulihan hharga , maka jumlah pemulihan diakui sebgai untung. Jumlah pemulihan yang diakui sebagi untung tentu saja tidak boleh melampaui jumkah cadangan yang sudah terbentuk. Jurnal penyesuaian: Des 31 Rugi- PNS xxx             Untung- Pemulihan  PNS  xxx   ( Mencatat Penurunan cadangan  Nilai sediaan)    2.5 Perlakuan Untung Pemulihan PNS  ada 2 metode dalam perlakuan akuntansi terhadap untung pemulihan PNS yaitu : 1. sebagai pengurangan HPP 2. sebagai bagian dari untung dan pendapatan lain – lain  Jurnalpenyesuaian : Des 31 Untung- Pemulihan PNS xxx             HPP  xxx   ( Mengakui untung pemulihan sebagai pengurangan HPP)    1.2 Lower Of Cost Or Market (LCOM) Pengertian harga pasar dalam LCOM  adalah harga di pasar input , yakni harga andaikan sediaan di beli atau direproduksi sekarang . harga pasar tersebut menurut AICPA harus memenuhi 2 syarat yaitu : 1. Tidak melebihi net realizable value  2. Tidak lebih rendah daripada  nilai realisasi dikurangi laba normal  NRV adalah taksiran harga jual – taksiran biaya penjulan ( pemasaran ) dan digunakan sebagai batas atas . NRV – Laba normal digunakan batas bawah. Contoh :  Misalnya dalam perusahaan mempunyai persediaan dengan cost $ 1,000. Pada akhir tahun harga pasar dari persediaan tersebut adalah $ 900, maka yang diLCOM  adalah $ 900. Jika harga pasar barang tersebut adalah $ 1,100, maka yang disajikan di LCOM adalah costnya yaitu $ 1,000. Jenis Produk Kos historis Harga pasar ( kos pengganti) Batas bawah Batas atas Harga pembanding LCOM $ A .65 .70 .55 .80 .70 .65 B .65 .60 .55 .80 .60 .60 C .65 .50 .55 .80 .55 .55 D .50 .45 .55 .80 .55 .50 E .75 .85 .55 .80 .80 .75 F .90 1.00 .55 .80 .80 .80  Dalam kasus A Harga Pasar  berada di antara Batas bawah dan Batas atas, oleh karena itu Harga Pasar  akan mewakili Harga pembanding untuk dibandingkan dengan cost historis  yaitu $ .65. Ternyata cost $.65 lebih rendah dari Harga pembandingt ($.70) oleh karena itu harga yang dilaporkan adalah cost nya yaitu $ .65. Dalam kasus B, Harga Pasar  yang $.60 berada di antara Batas bawah, dan Batas Atas oleh karena itu Harga Pasar  dapat mewakili harga pembanding kemudian dibandingkan dengan Kos Historis $.65. Ternyata harga pembanding lebih rendah, maka yang disajikan di LCOM  adalah harga pembanding  Dalam Kasus C, Harga Pasar  $.50 ternyata dibawah Harga Pasar maka harga pembanding diwakili oleh Kos Historis, kemudian dibandingkan dengan Kos Historis, ternyata Batas bawah lebih rendah, maka yang disajikan di LCOM  adalah Batas bawah Dalam kasus D, Harga Pasar di bawah  Batas bawah maka harga pembanding diwakili oleh Batas bawah dan dibandingkan dengan Kos Historis. Ternyata Kos Historis lebih rendah, maka yang disajikan di LCOM adalah Kos Historis.  Dalam kasus E. Harga Pasar di bawah  Batas bawah maka harga pembanding diwakili oleh Batas bawah dan dibandingkan dengan Kos Historis. Ternyata Kos Historis lebih rendah, maka yang disajikan di LCOM adalah Kos Historis.  Dalam kasus F, Harga Pasar di atas Batas Atas, sehingga Batas Atas, mewakili harga pembanding dan dibandingkan dengan cos historisst, ternyata lebih rendah, sehingga yang disajikan di LCOM adalah Batas Atas, E. Penyajian Di Neraca  Sediaan disajikan dineraca dalam  kelompok aktifa lancer. Apabila sediaanya beracam – macam pada perusahaan manufaktur maka sediaan disajikan terpisah satu dari lainya. Beberapa hal yang berkaitan dengan sediaan perlu diungkapkan, sebgai contoh kos( rata - rata,MPKP,MTKP atau metode lainya) dan metode penilaian ( lower of cost and net realizable value) diungkapkan. Cara pengugakpanya bias dalam tanda kurung atau catatan kaki dan catatan atas laporan keuangan.  Contoh : penyajian sediaan di neraca  Dalam kelompok aktifa lancer   Sediaan barang jadi (MPKP) 48.500  (-) cadanagn penurunan nilai barang jadi (1.600) 46.900 Sediaan barang dalam proses (MPKP) 18.200  (-) cadangan penuruanan niali barang dalam proses (2.600) 15.600 Sediaan bahan baku (MPKP) 98.000  (-) cadangan penurunan nilai bahan baku (1000) 97.000  Jumlah sediaan  159.500  F. Menentukan Cost Dari Persediaan Akhir  Jika perusahaan sering membeli barang dan harga beli masing-masing pembelian berbeda, maka perusahaan akan mengalami kesulitan dalam menentukan harga pokok barang yang dipakai/dijual dan harga pokok barang yang masih ada di gudang. Sebagai contoh data persediaan barang dagangan untuk bulan Januari 2006 sebagai berikut: Januari 1 Persediaan        200 unit @ $10 = $2,000         12 Pembelian        400 unit @ $12 = $4,800         26 Pembelian        300 unit @ $11 = $3,300         30 Pembelian        100 unit @ $13 = $1,300  Setelah dilakukan inventarisasi fisik, jumlah pesediaan per 31 Januari 2006 adalah 300 unit. Tentukan: 1. Persediaan per 31 Januari 2006. 2. Harga pokok persediaan yang dijual dalam bulan Januari 2006.   Barang yang tersedian untuk dijual selama bulan Januari adalah 200 + 400 + 300 + 100 = 1.000 unit, maka barang yang dijual adalah 1.000 – 300 = 700 unit 1. FIFO Dengan metode ini jumlah barang yang digunakan sebanyak 700 unit diasumsikan berasal dari barang yang pertama kali dibeli, yaitu:     200 unit                @ $10 = $2,000     400 unit                @ $12 = $4,800     100 unit                @ $11 = $1,100     Harga pokok penjualan             $7,900 Selanjutnya persediaan yang 300 unit dianggap dari pembelian tanggal 26 dan 30 Januari 2006 dengan rincian sebagai berikut:     200 unit                @ $11 = $2,200     100 unit                @ $13 = $1,300     Persediaan akhir             $3,500 2. LIFO Dengan metode ini jumlah barang yang dijual sebanyak 700 unit diasumsikan berasal dari barang yang terakhir dibeli, yaitu: 100 unit                @ $13 = $1,300 300 unit                @ $11 = $3,300 300 unit                @ $12 = $3,600 Harga pokok penjualan             $8,200 Selanjut persediaan akhir 300 unit dianggap berasal dari pembelian tanggal 1 dan 12 Januari 2006, yaitu: 200 unit                @ $10 = $2,000 100 unit                @ $12 = $1,200 Persediaan akhir             $3,200      3). Metode Rata-rata Untuk menghitung persediaan akhir dan harga pokok penjualan perlu dibuat perhitungan sebagai berikut: Tanggal Keterangan Unit Harga per Unit Jumlah Jan 1 Persediaan 200 $10 $2,000 12 Pembelian 400 $12 $4,800 26  Pembelian  300 $11  $3,300  30  Pembelian  100  $13  $1,300  Jumlah  1,000    $11,400  Rata-rata = $11,400 : 1,000  $11.4  Harga pokok penjualan = 700 x $ 11.4 = $7,980 Persediaan akhir = 300 x $11.4 = 3,240            \BAB III PENUTUP a. Kesimpulan  Persediaan dinilai dengan dua metode, yaitu berdasarkan harga perolehan dan taksiran. Dalam metode harga perolehan terdapat beberapa metode yang bias digunakan untuk penilaian persediaan yaitu Metode Tanda Pengenal Khusus, Rata – rata, MPKP, MTKP, dan metode persediaan dasar. Sedangkan dalam metode taksiran terdiri dari metode Eceran dan metode Laba Kotor. Berdasarkan metode harga perolehan, yang sering digunakan perusahaan adalah metode MPKP/FIFO dan MTKP/LIFO. Metode FIFO biasanya digunakan oleh perusahaan dagang yang mempunyai persediaan barang yang cepat kadaluarsa, rusak atau hancur. Sedangkan metode LIFO digunakan oleh perusahaan yang mempunyai persediaan yang tahan lama. Penggunaan metode penilaian persediaan tergantung pada manajemen perusahaan. Apabila harga beli barang dipasaran mengalami kenaikan terus – menerus, maka sebaiknya perusahaan menggunakan metode FIFO. Sebaliknya, jika harga beli barang di pasaran mengalami penurunan, sebaiknya perusahaan menggunakan metode LIFO. Metode ecrean banyak digunaknan oleh toko serba ada atau swalayan yang memperdagangkan puluhan bahkan ratusan jenis barang.  Di swalayan, setiap jenis barang yang ada, dilekati dengan label harga jual ecerannya sehingga pelayan toko lebih tahu harga jual eceran daripada harga pokoknya dan lebih mudah baginya membuat laporan atas barang yang masih ada berdasar harga eceran tersebut. Dalam metode laba kotor, konsep yang digunakan adalah konsep hubungan antara harga pokok dan harga jual. Besarnya persentase laba kotor umumnya didasarkan pada persentase laba tahun lalu.   b. Kritik dan Saran Diharapkan kepada pembaca dari makalah yang penulis buat dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang akuntansi dan juga bermanfaat bagi semua orang, selain daripada itu sebagai pemakalah kami mengakui bahwasannya dalam makalah ini banyak sekali terdapat kekurangan baik dari penulisan dan isi, menginggat hal itu kami sebgai penulis meminta kritik sekaligus saran supaya makalah ini dapat lebih baik kedepannya dan bermanfaat untuk kehidupan ini.                  

DAFTAR PUSTAKA 
Sumiyana, Sugiri Slamet.2005. Akuntansi Keuangan Menengah . Yogyakarta. Penerbit : Akademi Manajemen Perusahaan YKPN http///www. AkuntnsiMuda. Co.id 
                     
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 
Nama   : Suyanto 
TTL   : Tebo, 20 Mei 1990 
Alamat  : Perum. Kota Baru Indah, Simp. Rimbo Motto   : Hidup Sekali Jadikan Penuh Arti dan Mengabdi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar