Senin, 08 November 2010

BAB I PEMBAHASAN A. Pengertian Akuntansi Social Ekonomi (ASE) Sebelum memasuki pembahasan tentang akuntansi social ekonomi, adapun yang akan penulis bicarakan hanyalah dalm garis besarnya tentang disiplin akluntansi social ekonomi dalm hubungan ilmu ekonomi dan social akuntansi pada umumnya, dasar- dasar aspek tekniknya, penggunaanya pada umumnya dan penggunaan kemungkinan di Indonesia. Bukanlah maksud unutuk membahsa soalnya secara detail hal mana yang sesuai dengan tujuan yang terpenting yaitu mendorong para sarajana ekonomi dan akuntansi di indonesia agar mereka lebih menaruh perhtian terhadap disiplin baru yang merupakan alat operasional yang berguna sekali. Istilah Akuntansi Sosial (Social Accounting) sebenarnya bukan merupakan istilah baku dalam akuntansi. Para pakar akuntansi membuat istilah masing-masing untuk menggambarkan transaksi antara perusahaan dengan lingkungannnya. Ramanathan (1976) dalam Arief Suadi (1988) mempergunakan istilah Social Accounting dan mendefinisikannya sebagai proses pemilihan variabel-variabel yang menentukan tingkat prestasi sosial perusahaan baik secara internal maupun eksternal. Lee D Parker (1986) dalam Arief Suadi (1988) menggunakan istilah Sosial Responsibility Accounting, yang merupakan cabang dari ilmu akuntansi. Sementara itu Belkoui dalam Harahap (1993) membuat suatu terminologi Socio Economic Accounting (SEA) yang berarti proses pengukuran, pengaturan dan pengungkapan dampak pertukaran antara perusahaan dengan lingkungannya. Hadibroto (1988); Bambang Sudibyo (1988) dan para pakar akuntansi di Indonesia menggunakan istilah Akuntansi pertanggung jawaban sosial (APS) sebagai akuntansi yang memerlukan laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban sosial perusahaan. Hendriksen (1994), menggambarkan akuntansi sosial sebagai suatu pernyataan tujuan, serangkaian konsep sosial dan metode pengukurannya, struktur pelaporan dan komunikasi informasi kepada pihak–pihak yang berkepentingan. Pernyataan Hendriksen (1994) tersebut memberikan gambaran tentang hubungan mendasar antara konsep akuntansi sosial dengan informasi yang dihasilkan, sehingga secara kongkrit informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Akuntansi Social Ekonomi (ASE) menurut Belkaoui (1984) lahir dari anggapan bahwa akuntansi sebagai alat manusia dalam kehidupannya harus juga sejalan dengan tujuan social hidup manusia. ASE berfungsi untuk memberikan informasi “social report” tentang sejauh mana unit organisasi, Negara dan dunia memberikan kontribusi yang positive dan negative terhadap kualitas hidup manusia. ASE sebagai suatu penerapan akuntansi di bidang ilmu social termasuk bidang sosiologi, politik ekonomi. Akuntansi sosial ekonomi merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan penting karena melalui social reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis. Diharapkan melalui media ini tingkat tanggung jawab sosial perusahaan dapat mempengaruhi secara positif perilaku investor. Investor seharusnya tidak hanya melihat aspek keuangan saja, tetapi juga tanggung jawab sosial perusahaan harus mendapatkan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Akan tetapi sampai saat ini pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan masih bersifat sukalera, dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Paragraf ke sembilan dinyatakan: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”. PSAK tersebut tidak secara tegas mengharuskan perusahaan untuk melaporkan tanggung jawab sosial mereka. Pengelompokan, pengukuran dan pelaporan juga belum diatur, jadi untuk pelaporan tanggung jawab sosial diserahkan pada masing-masing perusahaan. Akuntansi Social Economi (ASE) lahir dari anggapan bahwa akuntansi sebagai alat manusia dalam kehidupannya harus juga sejalan dengan tujuan sosial hidup manusia. ASE berfungsi untuk memberikan informasi “social report” tentang sejauh mana unit organisasi, Negara dan dunia memberikan kontribusi yang positive dan negative terhadap kualitas hidup manusia. ASE sebagai suatu penerapan akuntansi di bidang ilmu sosial termasuk bidang sosiologi, politik ekonomi. Ada juga yang memberikan istilah lain dari ASE yaitu Akuntansi Sosial yang terdiri dari Akuntansi Mikro Sosial dan Akuntansi Makro Sosial. Beberapa ahli telah mendefinisikan akuntansi sosial ekonomi, antara lain: a. Menurut Linowes akuntansi sosial ekonomi (Belkaoui, 1998: 339) adalah: Penerapan akuntansi di bidang ilmu sosial yang meliputi ilmu pengetahuan masyarakat, ilmu pengetahuan politik dan ilmu pengetahuan ekonomi. b. Menurut Ahmed Belkaoui (1998: 339) akuntansi sosial ekonomi adalah: Proses pengurutan, pengukuran, dan pengungkapan pengaruh yang kuat dari pertukaran antara suatu perusahaan dan lingkungan sosialnya. c. Menurut Kavasseri V. Ramanathan (1987: 64) akuntansi sosial ekonomi The process of selecting firm level social perfomance variabels, measures, and measurement procedures; systematically developing information useful for evaluating the firm’s social perfomance; and communicating such information to concerned social groups, both within and outside the firm.( Proses pemilihan perusahaan variabel tingkat kinerja sosial, tindakan, dan prosedur pengukuran; sistematis mengembangkan informasi yang berguna untuk mengevaluasi kinerja sosial perusahaan, dan mengkomunikasikan informasi tersebut kepada kelompok sosial yang bersangkutan, baik di dalam maupun di luar perusahaan.) d. Menurut Haniffa akuntansi sosial ekonomi (Rusmanto, 2004: 87) adalah: Ekspresi dari tanggung jawab sosial perusahaan, melalui pengungkapan pelaporan aktivitas sosial perusahaan dapat menunjukkan apa yang telah mereka capai dan penuhi dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa akuntansi sosial ekonomi adalah alat yang berfungsi untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menilai dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan, baik social cost maupun social benefit, dan mengkomunikasikannya kepada stakeholder, yaitu stockholder, karyawan, masyarakat, pemasok dan pemerintah dalam bentuk pelaporan pertanggungjawaban sosial. pengelompokkan teori yang dipergunakan oleh para peneliti untuk menjelaskan kecendrungan pengungkapan sosial ke dalam tiga kelompok yaitu: a. Decision usefullness studies: pengungkapan sosial dilakukan karena informasi tersebut dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan dan ditempatkan pada posisi yang moderatly important. b. Economy theory studies: sebagai agen dari suatu prinsipal yang mewakili seluruh intrest group perusahaan, pihak manajemen melakukan pengungkapan sosial sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan publik. c. Social and political theory studies: pengungkapan sosial dilakukan sebagai reaksi terhadap tekanan-tekanan dari lingkungannya agar perusahaan merasa eksistensi dan aktifitasnya terlegitimasi. Menurut Harahap (2003: 351-352) ada beberapa paradigma yang menimbulkan kecendrungan perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosialnya: a. Kecenderungan Terhadap Kesejahteraan Sosial: kecendrungan ini berdasarkan kenyataan bahwa kelangsungan hidup manusia, kesejaterahan masyarakat hanya dapat lahir dari sikap kerjasama antar unit-unit masyarakat itu sendiri. Sehingga timbulah kesadaran dan kebutuhan pertanggungjawaban sosial perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. b. Kecendrungan Terhadap Kesadaran Lingkungan: kecendrungan ini berdasarkan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk di antara bermacam-macam makhluk yang mendiami bumi yang saling mempunyai keterkaitan dan sebab akibat serta dibatasi oleh sifat keterbatasan dunia itu sendiri, baik sosial, ekonomi, dan politik. Akibat semakin meningkatnya kesadaran perusahaan terhadap kenyataan tersebut, sehingga timbul kebutuhan tentang perlunya melakukan pertanggungjawaban sosial kepada stakeholder. c. Perspektif Ekosistem: dalam perspektif ini perusahaan sadar bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan akan menimbulkan dampak bagi ekosistem yang berada di sekitarnya. d. Ekonomisasi vs Sosialisasi: ekonomi mengarahkan perhatian hanya kepada kepuasan individual sebagai unit yang selalu mempertimbangkan cost dan benefit tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat. Sebaliknya, sosialis menfokuskan perhatiannya terhadap kepentingan sosial dan selalu memperhatikan efek sosial yang ditimbulkan oleh kegiatannya. Pengungkapan kinerja sosial pada laporan tahunan perusahaan seringkali dilakukan secara sukarela oleh perusahaan. adapun alasan-alasan perusahaan mengungkapan kinerja sosial secara sukalera antara lain: a. Internal decision making: manajemen membutuhkan informasi untuk menentukan efektivitas dari informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan sosial perusahaan. Data harus tersedia agar biaya dari pengungkapan tersebut dapat diperbandingkan dengan manfaatnya bagi perusahaan. Walaupun hal ini sulit diidentifikasi dan diukur namun analisis secara sederhana lebih baik daripada tidak sama sekali. b. Product differentiation: manajer dari perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial memiliki insentif untuk membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat. c. Enlightened self interest: perusahaan melakukan pengungkapan untuk menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder yang terdiri dari stockholder, kreditor, karyawan, pemasok, pelanggan, pemerintah dan masyarakat karena dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan harga saham perusahaan. Pengungkapan kinerja akuntansi sosial perusahaan, baik secara internal maupun eksternal, dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan, yaitu: (1) Audit sosial, yaitu mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan yang reguler. Mulanya, manajer perusahaan diminta membuat daftar aktivitas dengan konsekuensi sosial. Setelah daftar tersebut dihasilkan, auditor sosial kemudian menilai dan mengukur dampak-dampak dari kegiatan sosial perusahaan. Audit sosial dilaksanakan secara rutin oleh kelompok konsultan internal maupun eksternal, sebagai bagian dari pemeriksaan internal biasa, sehingga manajer mengetahui konsekuensi sosial dari tndakan mereka. (2) Laporan-Laporan Sosial. Laporan eksternal terpisah yang menggambarkan Hubungan perusahaan dengan komunitasnya, dikembangkan salah satunya oleh David Linowes. Ia membagi laporannya dalam tiga kategori: hubungan dengan manusia, hubungan dengan lingkungan, dan hubungan dengan produk. Pada setiap kategori, ia membuat daftar mengenai konstribusi sukarela perusahaan dan kemudian mengurangkannya dengan kerugian yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan itu. Linowes memoneterisasi segala sesuatunya dalam laporan tersebut, sampai pada saldo akhir, yang disebutnya sebagai tindakan sosio-ekonomi netto untuk tahun tersebut. Dalam laporan Linowes, seluruh kontribusi dan kerugian harus dihitung secara moneter. Selain Linowes, Ralph Estes juga mengembangkan suatu model pelaporan mengenai manfaat dan biaya sosial. Ia menghitung manfaat sosial sebagai seluruh kontribusi kepada masyarakat yang berasal dari operasi perusahaan (misalnya, lapangan kerja yang disediakan, sumbangan, pajak, perbaikan lingkungan). Sedangkan biaya sosial, meliputi seluruh biaya operasi perusahaan (bahan baku yang dibeli, utang kerusakan lingkungan, luka-luka dan penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan). Manfaat sosial dikurangkan dengan biaya social untuk memperoleh manfaat atau biaya netto. (3) Pengungkapan dalam laporan tahunan. Beberapa perusahaan menerbitkan laporan tahunan kepada pemegang saham disertai beberapa informasi sosial yang dilakukan. Namun, melalui informasi yang dicantumkan dalam laporan tahunan tersebut, belum dapat dinilai kinerja sosial perusahaan secara komprehensif, karena kebanyakan informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan bersifat sukarela dan selektif. Dalam artian, bisa jadi perusahaan hanya menyoroti kontribusi positifnya dan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas usahanya. B. Tujuan akuntansi sosial ekonomi Adapun tujuan akuntansi sosial menurut Hendriksen (1994) adalah untuk memberikan informasi yang memungkinkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap masyarakat dapat di evaluasi. menguraikan tiga tujuan dari akuntansi sosial yaitu : 1. Mengidentifikasikan dan mengukur kontribusi sosial neto periodik suatu perusahaan, yang meliputi bukan hanya manfaat dan biaya sosial yang di internalisasikan keperusahaan, namun juga timbul dari eksternalitas yang mempengaruhi segmen-segmen sosial yang berbeda 2. Membantu menentukan apakah strategi dan praktik perusahaan yang secara langsung mempengaruhi relatifitas sumberdaya dan status individu, masyarakat dan segmen-segmen sosial adalah konsisten dengan prioritas sosial yang diberikan secara luas pada satu pihak dan aspirasi individu pada pihak lain, 3. Memberikan dengan cara yang optimal, kepada semua kelompok sosial, informasi yang relevan tentang tujuan, kebijakan, program, strategi dan kontribusi suatu perusahaan terhadap tujuan-tujuan sosial perusahaan. Berdasarkan tujuan akuntansi sosial yang diuraikan diatas dapat dipahami bahwa akuntansi sosial berperan dan menjalankan fungsinya sebagai bahasa bisnis yang mengakomodasi masalah–masalah sosial yang dihadapi oleh perusahaan, sehingga pos–pos biaya sosial yang dikeluarkan kepada masyarakat dapat menunjang operasional dan pencapaian tujuan jangka panjang perusahaan C. Faktor Penyebab munculnya ASE Kesadaran masyarakat akan perlunya dijaga kelestarian lingkungan untuk kelangsunagn hidup manusia dan penekanan pada kelestarian hidup dan kesejahteraan social semakin tinggi menjadi pendorong munculnya ASE. Faktor pendorong munculnya ASE adalah: 1. Adanya kesadaran dan komitmen terhadap kesejahteraan social tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. 2. Adanya paradigma kesadaran lingkungan tidak seperti selama ini lingkungan diabdikan untuk perusahaan, untuk mengejar keuntungannya. 3. Munculnya perspektif ecosystem, dimana system global tidak bisa berjalan sendiri sendiri tanpa memperhatikan system lain. Sistem ekonomi harus berjalan 4. Munculnya perhatian terhadap perlindungan kepentingan social. Dengan gencarnya pertumbuhan ekonomi maka sering melupakan kepentingan social yang merugikan masyarakat, namun lama kelamaan muncul kesadaran akan pentinganya diperhatikan kepentingan social tidak hanya kepentingan ekonomi. D. Hubungan Antara Perusahaan Dan Lingkungan Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat, di mana menurut pendekatan teori akuntansi tradisional, perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat memberikan sumbangan yang maksimum kepada masyarakat sesuai konsep trickle down kapitalisme. Namun seiring dengan perjalanan waktu, masyarakat semakin menyadari adanya dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam menjalankan operasinya untuk mencapai laba yang maksimal, yang semakin besar dan semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, masyarakat pun menuntut agar perusahaan senantiasa memperhatikan dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya dan berupaya mengatasinya. Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh para karyawan dan buruh dalam rangka menuntut kebijakan upah dan pemberian fasilitas kesejahteraan lainnya yang dirasakan kurang mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang dilakukan oleh pihak masyarakat, baik masyarakat sebagai konsumen, maupun masyarakat di lingkungan sekitar pabrik. Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan protes terhadap hal-hal yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan, keselamatan, dan kehalalan suatu produk bagi konsumennya. Sedangkan protes yang dilakukan masyarakat di sekitar pabrik biasanya berkaitan dengan pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah pabrik. Pendekatan modern menyebutkan bahwa organisasi sebagai suatu sistem terbuka, yang berarti bahwa organisasi merupakan bagian (sub sistem) dari lingkungannya, sehingga organisasi dapat dipengaruhi maupun mempengaruhi lingkungannya Selanjutnya bahwa ada delapan segmen lingkungan yang mempengaruhi perusahaan, yaitu: 1. industri 2. bahan baku, 3. tenaga kerja 4. keuangan 5. pasar 6. teknologi 7. kondisi ekonomi 8. pemerintah dan kebudayaan. Pengaruh lingkungan terhadap sebuah organisasi menjadi sangat kental, hal ini terjadi karena adanya ketergantungan organisasi terhadap sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan. Hal ini ditegaskan oleh Lubis dan Huseini (1987) yang menyebutkan bahwa organisasi mempunyai ketergantungan ganda terhadap lingkungannya, karena produk dan jasa yang merupatkan output organisasi dikonsumsi oleh pemakai yang terdapat dalam lingkungannya. Dari pihak lain, organisasi juga mendapatkan berbagai jenis input dari lingkungannya. Posisi input dan output ini menjadi berbahaya jika pertukaran input dan output menjadi tidak seimbang. Perusahaan tidak beroperasi di dalam ruang kosong, melainkan dalam kondisi interaksi yang kompleks dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, situasi politik, pembangunan sosial dan ekonomi, juga risiko-risiko yang mungkin timbul. Jonker dan Witte (2004) menyebutkan bahwa Organisasi sekarang ini tidak hanya bertanggung jawab bagaimana menghasilkan kualitas produk dan jasa yang baik, tetapi juga harus dapat memenuhi kebutuhan para external stakeholders sebagai suatu cara untuk mencegah timbulnya dampak negatif sosial. Seperti angin semilir kemudian bertiup kencang, begitulah gambaran hembusan wacana Corporate Social Responsibility (CSR) seiring dengan kesadaran akan hubungan perusahaan dengan lingkungannya. Bahkan aktivitas CSR kini ditempatkan diposisi terhormat. Hingga tampaknya wacana CSR ini akan menjadi tren perusahaan-perusahaan berskala nasional maupun multisnasional. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan raksasa maupun menengah, baik yang multinasional maupun domestik, kini telah mengklaim bahwa CSR ini telah diimplementasikan dengan baik dalam perusahaan mereka. Banyak perusahaan telah menggeser paradigma sempit yang menyatakan bahwa orientasi seluruh kegiatan hanyalah berorientasi profit. Salah satu definisi CSR yang dikembangkan dan diimplementasikan dalam aktivitas CSR adalah definisi yang dikemukakan oleh The World Business Council For Sustainable Development (WBCSD) dalam Wibisono (2007:7), mengemunkakan bahwa: “CSR is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”, yaitu “komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara” Terobosan terbesar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P” (profit, people, dan planet) yang dituangkan dalam bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang dirilis pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Perusahaan sebagai entitas ekonomi, bertujuan untuk mencetak laba yang optimal guna meningkatkan kekayaan para pemilik saham. Namun itu saja belum cukup, keberlanjutan bisnis perusahaan (sustainable business) tidak terjamin bila hanya mengandalkan laba yang tinggi semata, tetapi perusahaan juga harus memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan program CSR (Darwin, 2006:115). Jadi, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata tidak ada pertentangan antara motif perusahaan untuk meraih laba dan di satu sisi juga turut aktif melaksanakan program-program CSR. Bahkan program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center) melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang. E. Perkembangan Dalam Praktek Pelaporan Lingkungan Dan Sosial Pemikiran ASE dapat dirujuk ke Pasca Perang Dunia ke II dimana semakin dituntut kualitas hidup tidak saja pertumbuhan ekonomi. Tahun 1960an sudah muncul beberapa pengembangan indikator social, akutansi sosial, pengukuran kualitas hidup, monitoring perubahan social, dan pelaporan social. Pelaporan ASE ini sudah mulai diikuti dan menjadi lazim bagi beberapa perusahaan besar khususnya di Negara- Negara maju baik karena kebijakan untuk mengambil hati Publik atau secara sukarela maupun karena rekomendasi atau saran-saran atau kewajiban dari regulator (SEC, BAPEPAM). Beberapa perusahaan di dunia membuat catatan yang menyatakan bahwa organisasi mereka memiliki komitmen untuk suistainability development yang kemudian menghasilkan informasi yang menunjukkan pendapatan dan kinerja dalam pengembangan suistainability tersebut berupa CSR. Dokumen pelaporan suistainability hadir dalam berbagai bentuk. Laporan singkat ini menghasilkan agenda global untuk perubahan dalam menentang atau mengurangi tekanan yang terus menerus dalam lingkungan global. Pelaporan ini mendefinisikan perkembangan suistainability sebagai kemapuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa harus membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam perspektif suistainability harus dipastikan bahwa pola konsumsi generasi sekarang tidak memberikan dampak negati terhadap generasi selanjutnya. Banyak organisasi yang selanjutnya menyatakan secara eksplisit bahwa fokus mereka adalah pertimbangan suistainability yang mempunyai implikasi terhadap profitability jangka pendek dan merupakan hal pokok dalam keberlangsungan hidup jangka panjang. Ada tiga komponen utama dalam suistainability yaitu keadaan ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Ketika pertimbangan lingkungan dan masyarakat dilakukan dalam sebuah bisnis, ada dua komponen terpisah lainnya yang sering teridentifikasi yaitu peertimbangan eco-efficiency dan eco-justice. Dimana saat perusahaan memilih untuk membuat laporan lingkungannya sendiri maka perusahaan tersebut akan cenderung hanya fokus pada eco-efficiency. Sedangkan dalam suistainability dua komponen ini harus terlibat. Eco-efficiency fokus untuk memaksimalkan kegunaan jumlah sumber daya yang digunakan dan meminimalkan keterlibatan lingkungan dalam menggunakan sumber daya. Sedangkan eco-justice akan memperlihatkan bagaimana entitas menggunakan sumber daya yang terbatas untuk memastikan bahwa kelompok tertentu yang dirugikan tidak dilupakan. Hal lain yang dipertimbangkan adalah kepedulian terhadap keselamatan, pendidikan dan peluang karyawan, ketaatan atas hak-hak manusia dan kesamaan peluang, keterlibatan orang-orang pribumi serta dukungan atas kemajuan negara. Perubahan menuju suistainability memiliki syarat yang cukup mendasar untuk mengubah pola konsumsi dan produksi telah disampaikan oleh berbagai pihak sebagai kebutuhan global. Dengan menggunakan perspektif yang berasal dari teori legitimacy kita dapat mengatakan bahwa jika suistainability menjadi bagian dari harapan utama masyarakat, maka ia akan menjadi sebuah tujuan bisnis. Bila konsep dari suistainability development berkembang menjadi bagian dari berbagai harapan komunitas, maka komunitas itu akan mengharapkan berbagai informasi tentang bagaimana organisasi, perusahaan, dan entitas melaksanakan syarat utama dari suistainabilty. Selain itu penyediaan informasi tentang keadaan sosial akan meningkatkan kepercayaan berbagai komunitas yang ada dalam organisasi. Perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen sustainability yang biasanya dalam bentuk implementasi CSR harus membuat laporan yang menggambarkan perhatian terhadap sustainability sebagai fase akhir setelah serangkaian proses panjang dilewati; sejak desain, implementasi program, monitoring, hingga evaluasi. Manfaatnya, selain bisa digunakan untuk bahan evaluasi terpadu, juga bisa menjadi alat komunikasi dengan stakeholders, termasuk mitra bisnis dan kalangan investor. Pelaporan ini, menjadi kajian dalam bidang ilmu Akuntansi Sosial. Arfan Ikhsan- Muhammad Ishak, dalam bukunya, Akuntansi Keperilakuan, mendefinisikan Akuntansi sosial sebagai penyusunan, pengukuran, dan analisis terhadap konsekuensi-konsekuenai sosial dan ekonomi dari perilaku yang berkaitan dengan pemerintah dan wirausahawan. Akuntansi sosial ini berguna untuk mengukur dan melaporkan kontribusi suatu perusahaan kepada lingkungannya. Menyangkut pelaporan (reporting), di Eropa sendiri telah cukup lama mengeluarkan praktik dan pelaporan CSR. Pada 1975, misalnya, The Accounting Standards Steering Committee of The Institute of Chartered Accountant di Inggris, mengeluarkan pedoman bagi perusahaan untuk pelaporan informasi tentang sosial dan lingkungan. Namun, aspek pelaporan sosial baru bergaung di tahun 1990-an setelah stakeholders kian menuntut agar perusahaan tak hanya membuat laporan keuangan menyangkut profit, tapi juga laporan yang transparan seputar hubungan perusahaan dengan aspek sosial dan lingkungan. Seperti halnya definisi CSR yang tak tunggal, dalam membuat laporan pun masingmasing perusahaan menempuh cara yang beragam. Tujuannya pun berbeda ada yang untuk kepentingan internal, ada juga yang eksternal. Menimbang hal itu, maka berinisiatiflah sejumlah institusi guna menciptakan sistem pelaporan yang bisa berlaku universal untuk semua perusahaan. Salah satu yang terkenal adalah Global Reporting Initiative (GRI) yang diluncurkan tahun 1997. GRI membuat sustainability reporting guideline yang memberi petunjuk pembuatan laporan dengan memperhatikan aspek ekonomi-sosial-lingkungan, atau yang dikenal dengan aspek triple bottom line. Hanya saja, GRI pun tak bisa mewajibkan perusahaan membuat laporan. Sebagai pelaporan yang paling banyak dijadikan rujukan dalam CSR reporting saat ini, GRI memberi pilihan dan fleksibilitas bagi penggunanya. Perusahaan berhak memilih bentuk pelaporan yang sesuai dengan kebutuhan atau kompleksitas organisasinya. Kendati sukarela, namun pelaporan CSR ini amatlah bermanfaat untuk masa depan. Mengingat kalangan mitra dan investor-khususnya internaional-kian melihat aktivitas CSR sebagai rujukan untuk menilai potensi keberlanjutan (going concern) suatu perusahaan. Pelaporan dalam ASE berarti memuat informasi yang menyangkut dampak positif atau negative yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pelaksanaan ASE masih banyak kendala dan keterbatasan terutama dalam hal pengukuran dan pelaporan. Dalam pelaporan akuntansi sosial, diinformasikan seberapa besar manfaat sosial netto yang diberikan perusahaan pada masyarakat. Manfaat sosial netto tersebut, diperoleh dari selisih antara kontribusi suatu perusahaan kepada masyarakat (manfaat sosial) dengan kerugian yang ditimbulkan (biaya sosial). Namun dalam menentukan manfaat sosial netto tersebut tidaklah semudah menyajikan laporan keuangan biasa. Masalah yang muncul, terkait 1. bagaimana menentukan apa yang menjadi pos-pos biaya ataupun manfaat sosial perusahaan 2. bagaimana mengukur (nilai moneter) biaya dan manfaat sosial yang ditimbulkan perusahaan. F. Pelaporan, pengungkapan (disclosure) akuntansi sosial Pelaporan dalam akuntansi sosial, berarti memuat informasi yang menyangkut dampak positif atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Pelaporan didasari relevan atau tidaknya informasi tersebut, dan relevansi ini tergantung pada para pemakai informasi. peningkatan kebutuhan informasi ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan yang telah melaporkan tanggungjawab sosialnya. Di negara-negara maju seperti Amerika, Kanada, Inggeris, Australia dan Jepang, pelaporan ini sudah merupakan hal yang lazim. menggambarkan Praktik pelaporan akuntansi sosial yang terdiri dari : 1. Praktik yang sederhana, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial yang tidak disertai dengan data kuantitaif, baik satuan uang maupun satuan yang lainnya 2. Praktik yang lebih maju, yaitu laporan terdiri dari uraian akuntansi sosial dan disertai dengan data kuantitatif 3. Praktik yang paling maju, yaitu laporan dalam bentuk kualitatif, perusahaan juga menyusun laporannya dalam bentuk neraca Selanjutnya dengan semakin berkembangnya pasar modal, perusahaan-perusahaan melaporkan dan mengungkapkan aktifitas sosial untuk memberikan informasi kepada pemilik modal, calon investor dan pihak-pihak luar (stakeholders) lainnya yang juga berkepentingan. Praktik pengungkapan sosial (social disclosure) dalam laporan tahunan perusahaan telah dilakukan dinegara negara Eropa barat, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Singapura dan Malaysia. Keadaan ini turut mendorong perusahaan–perusahaan untuk mengungkapkan secara sukarela untuk setiap periode mengenai lingkungan sosialnya, sehingga dapat menunjukkan kepada kepada pihak–pihak yang berkepentingan terhadap laporan tahunan perusahaan yang dapat menjelaskan kepedulian dan kepekaan sosial suatu entitas bisnis. Di negara Amerika Serikat praktik pengungkapan sosial ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini FASB telah banyak merekomendasikan secara lebih spesifik tentang standar pelaporan externalities. contoh FAS No. 5 yang mengatur tentang penyajian dampak sosial khususnya mengenai dampak lingkungan. direktur yang menangani urusan lingkungan di Ernst dan Young consulting Washington, mengatakan bahwa saat ini SEC (stock exchange commission) telah menerapkan review bagi perusahaan-perusahaan yang mengungkapkan dampak lingkungan dalam laporan tahunan mereka. Namun demikian, pengungkapan informasi sosial di Amerika Serikat sampai saat ini masih bersifat kerelaaan (Voluntary disclosure) dan bukan merupakan suatu kewajiban (Mandatory disclosure), tetapi kecenderungan yang terjadi adalah perusahaan mengungkapkan aktifitas sosial tersebut untuk mendeskripsikan lebih jauh tentang kiprah suatu perusahaan dalam menjalankan fungsi – fungsi sosialnya. G. Tinjauan Penerapan Akuntansi Sosial Di Indonesia Untuk membahas permasalahan bagaimana penerapan akuntansi sosial di Indonesia, maka akan diuraikan terlebih dahulu tentang krisis ekonomi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan kaitannya dengan permasalahan sosial yang terjadi pada beberapa perusahaan. Kemudian akan di bahas peran akuntansi sosial dalam mendorong terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan pada kondisi bisnis sekarang ini, yang didasarkan pada uraian teoritis sebelumnya. Krisis ekonomi di Indonesia Krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan sejak tahun 1997 telah mendongkrak bangsa ini pada posisi krisis multi dimensi pada hampir seluruh aspek kehidupan. Khususnya jika dilihat secara lebih rinci pada aspek ekonomi, sendi–sendi perekonomian (Investasi,produksi dan distribusi) lumpuh sehingga menimbulkan kebangkrutan dunia usaha, meningkatnya jumlah korban PHK, tingginya angka pengangguran, menurunnya pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat, dan akhirnya bermuara pada bertambahnya angka-angka jumlah peduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Dengan tingginya suku bunga diatas enam puluh persen pada puncak krisis saat itu, sangat sulit bagi sektor perbankan untuk menggulirkan kredit, ditambah ketatnya aturan likuiditas disektor perbankan sebagai akibat dari akumulasi kredit macet grup Konglomerat dan anak perusahaan dari bank-bank bermasalah mendorong pemerintah melakukan likuidasi, restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan. krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia mengakibatkan timbulnya berbagai hal yang tidak pasti, sehingga indikator–indikator ekonomi seperti tingkat suku bunga, laju inflasi, nilai tukar, indeks harga saham gabungan, dan sebagainya sangat rentan terhadap isu–isu sosial. Hal ini membuktikan bahwa aspek sosial dan aspek politik dapat mengundang sentimen pasar yang bemuara pada instabilitas ekonomi. Kondisi seperti ini tentunya berdampak sangat buruk bagi peta bisnis dan iklim investasi di Indonesia terutama untuk mendapatkan kepercayaan investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Upaya-upaya pemerintah menyakinkan dunia Internasional akan stabilitas sosial politik dan keamanan belum menunjukkan tanda–tanda yang berarti karena tidak didukung oleh data dan fakta yang sebenarnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa krisis ekonomi dan krisis sosial di Indonesia sampai saat ini masih menjadi dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, dan pengaruhnya terhadap dunia bisnis sangat signifikan, sehingga perusahaan yang ingin menjalankan operasional bisnisnya di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari permasalahan sosial yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Permasalahan sosial bagi perusahaan memang bukan menjadi target utama, karena banyak faktor–faktor lain seperti investasi, permodalan, produksi, pemasaran yang berkaitan langsung dengan aktifitas normal sebuah perusahaan, tetapi konsekuensi dari interaksi antara perusahaan dengan lingkungan yang sedang mengalami krisis sosial menjadi tidak dapat dihindari. Peran Akuntansi Sosial Situasi dan kondisi seperti yang telah diuraikan diatas menuntut suatu entitas bisnis untuk mampu mengakses kepentingan lingkungan sosialnya yang diikuti dengan pengungkapan dan pelaporan kepada pihak–pihak yang berkepentingan sehingga melahirkan sebuah laporan (output) yang mendeskripsikan segala aspek yang dapat mendukung kelangsungan hidup sebuah entitas. Disinilah peran akuntansi diharapkan dapat merespons lingkungan sosialnya sebagai perwujudan kepekaan dan kepedulian entitas bisnis terhadap lingkungan sosialnya. Akuntansi sosial secara teoritis mensyaratkan perusahaan harus melihat lingkungan sosialnya antara lain masyarakat, konsumen, pekerja, pemerintah dan pihak lain yang dapat menjadi pendukung jalannya operasional karena pergeseran tanggungjawab perusahaan. Untuk mendapatkan gambaran inilah perusahaan harus mampu mengakses lingkungan sosialnya, setelah itu untuk menindak lanjuti dan mengukur kepekaan tersebut perusahaan memerlukan informasi secara periodikal, sehingga informasi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi semua pihak (Shareholders, stakeholders, debtholders). Akuntansi sosial dilaksanakan atas dasar aktifitas sosial yang dijalankan oleh suatu entitas bisnis, selanjutnya diproses berdasarkan prinsip, metode dan konsep akuntansi untuk diungkapkan bagi pihak – pihak yang berkepentingan, kemudian dari informasi yang dihasilkan pengguna informasi akan dapat menentukan kebijakan selanjutnya untuk aktifitas sosial dan kebijakan untuk lingkungan sosial entitas bisnis yang dijalankan. Kemudian jika permasalahan akuntansi sosial ini dikaitkan dengan prinsip dasar good corporate governance(GCG) yang menjadi issu penting pengelolaan perusahaan saat sekarang ini, khususnya pada prinsip Responsibility yang berbicara tentang bagaimana entitas bisnis bertanggung jawab kepada stakeholders dan juga lingkungan, prinsip dasar good corporate governance (pengelolaan yang baik), ini mengharuskan perusahaan untuk memberikan laporan bukan hanya kepada pemegang saham, calon investor, kreditur dan pemerintah semata tetapi juga kepada stakeholders lainnya, seperti masyarakat umum, konsumen, serikat pekerja dan karyawan perusahaan secara individu. Saat ini tuntutan pengelolaan perusahaan dengan baik (Good Corporate Governance) juga telah menjadi issue global, dimana perusahaan-perusahaan multinasional yang menjalankan operasionalnya di Indoensia selalu berusaha meningkatkan transparansi dan akuntabilitas publik, sehingga perusahaan tidak hanya mementingkan motif bisnisnya saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat. contoh bagaimana penerapan kepedulian sosial perusahaan-perusahaan di Indonesia yang ditunjukkan dalam bentuk partisipasi sponsorship kegiatan keagamaan dan penyaluran beasiswa pendidikan. Pergeseran filosofis pengelolaan organisasi entitas bisnis yang mengalami perubahan dari pandangan manajemen klasik ke manajemen moderen khususnya di beberapa negara industri seperti Amerika dan Eropa telah melahirkan sebuah orientasi baru tentang tanggung jawab perusahaan. Pandangan Manajemen klasik tentang tanggung jawab perusahaan yang hanya beorientasi kepada pemilik modal dan kreditur dengan mencapai tingkat laba maksimum telah bergeser dengan adanya konsep Manajemen modern, dimana orientasi perusahaan dalam mencapai laba maksimum perlu dihubungkan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kearah keseimbangan antara tuntutan para pemilik perusahaan, kebutuhan para pegawai, pelanggan, pemasok, lingkungan dan juga masyarakat umum, karena menurut pandangan Manajemen modern perusahaan dalam menjalankan operasionalnya harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan sumber-sumber ekonomi yang digunakan oleh perusahaan semuanya berasal dari lingkungan sosial dimana perusahaan itu berada. Oleh karena itu perusahaan sebagai organisasi bisnis harus mampu merespon apa yang dituntut oleh lingkungan sosialnya, sehingga entitas bisnis dan entitas sosial dapat saling berinteraksi dan berkomunikasi untuk kepentingan bersama. Seiring dengan perkembangan konsep manajemen tersebut, para akuntan juga membicarakan bagaimana permasalahan tanggung jawab sosial ini dapat diadaptasikan dalam ruang lingkup akuntansi sehingga tujuan utama pelaporan keuangan guna memberikan infromasi kepada para pemegang saham dan kreditur menjadi ikut bergeser pula kearah kecenderungan bahwa perlunya pelaporan yang bersifat dari luar organisasi perusahaan (externality) dalam rangka memberikan infromasi kepada beberapa kelompok orang luar yang berkepentingan terhadap perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa ide dasar yang melandasi perlunya dikembangkan akuntansi sosial (sosial Accounting), secara umum sebenarnya adalah tuntutan terhadap perluasan tanggung jawab perusahaan. Sejak dekade tahun 70-an, masalah externality ini terus menjadi issu penting dikalangan profesi akuntan. beberapa contoh kongkrit yang dapat dianggap sebagai externality, antara lain seperti melaporkan jumlah karyawan, jaminan kesehatan, informasi tentang upaya pencegahan pencemaran lingkungan, standar kualitas, pengepakan produk ramah lingkungan, penyaluran beasiswa pendidikan, kesempatan magang, pelatihan kerja bagi mahasiswa, dan kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar industri. Permasalahan penting lainnya yang menjadi isu dikalangan para akuntan sehubungan externalily adalah mengenai seberapa jauh perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sosial ekonomi seluruhnya, dan bagaimana perlakuan akuntansi yang tepat untuk menggambarkan transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya tersebut. Harahap (1988;1993; 2001) mengemukakan bahwa persoalan apakah perusahaan perlu mempunyai tanggung jawab sosial atau tidak, sampai saat ini masih terus merupakan perdebatan ilmiah dalam sistem ekonomi kapitalis. Lebih jauh Harahap (2002) menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan bentuk dari penyadaran kapitalis terhadap tanggung jawab sosial perusahaan melalui penyajian informasi akuntansi. Pro dan kontra tersebut tentunya dapat dipahami karena kelompok yang mendukung maupun yang tidak mendukung punya kepentingan dan argumentasinya masing-masing. Di Indonesia sendiri, permasalahan akuntansi sosial memang bukanlah hal yang baru, para pakar akuntansi di Indonesia juga telah melakukan analisis dan studi tentang kemungkinan penerapan akuntansi sosial di Indonesia hanya saja akuntansi sosial menjadi kurang populer karena kemungkinan perusahaan-perusahaan di Indonesia memanfaatkan laporan tahunan hanya sebagai laporan kepada Shareholders dan Debtholders atau sebagai informasi bagi calon investor yang menjadi kendala sulitnya penerapan akuntansi sosial di Indonesia, yaitu 1. lemahnya tekanan sosial yang menghendaki pertanggungjawaban sosial perusahaan, dan 2. rendahnya kesadaran perusahaan di Indonesia tentang pentingnya pertanggung jawaban sosial. perlunya dikembangkan konsep Sosio Economic Accounting (SEA) di Indonesia karena lebih dekat dengan falsafah bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Menurut Penulis, perkembangan lingkungan bisnis yang demikian pesat saat ini telah mendorong perusahaan-perusahaan di Indonesia menuju kearah kesadaran akan pentingnya pertanggungjawaban sosial, sehingga perlu dianalisis kembali penerapan akuntansi sosial dalam situasi dan kondisi perekonomian Indonesia sekarang ini. H. Praktik pengungkapan sosial (Social Disclosure) di Indonesia Praktik pengungkapan sosial bagi perusahaan di Indonesia yang ingin mengungkapkan lingkungan sosialnya dapat berpedoman kepada standar yang telah dikeluarkan dan diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia, dimana secara implisit telah mengakomodasi hal tersebut . Sebagaimana tertulis pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 1 (Revisi 1998). Paragraf 9 yang berbunyi sebagai berikut: “ Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah ( value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor – faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Berdasarkan PSAK diatas, perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat melaporkan kegiatan sosialnya untuk dikomunikasikan kepada pihak luar dalam bentuk laporan nilai tambah, sehingga dapat dipahami bahwa upaya untuk pelaporan tanggungjawab sosial perusahaan sudah diakomodir oleh profesi akuntan di Indonesia. Untuk melihat lebih jauh praktik pengungkapan sosial dalam laporan tahunan perusahaan di Indonesia, para peneliti akuntansi telah melakukan berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Utomo (2000); Heny dan Murtanto (2001). Hasil riset tersebut menemukan bahwa perusahaan di Indonesia mengungkapkan 3 tiga tema utama dalam pengungkapan sosialnya, yaitu ketenagakerjaan, produk dan konsumen dan tema kemasyarakatan (lihat lampiran 1). Penelitian yang dilakukan tersebut juga menyimpulkan bahwa pengungkapan sosial oleh perusahaan–perusahaan di Indonesia relatif masih sangat rendah, dan diduga perusahaan tidak memanfaatkan laporan tahunan sebagai media komunikasi antara perusahaan dan Stakeholders lainnya. Sementara penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan sosial di Indonesia masih relatif rendah yaitu 42,32 %. Pengungkapan sosial dilakukan oleh perusahaan paling banyak ditemui pada bagian catatan atas laporan keuangan dan tipe pengungkapan yang paling banyak digunakan adalah tipe naratif kualitatif. Sejarah perkembangan akuntansi, yang berkembang pesat setelah terjadi revolusi industri, menyebabkan pelaporan akuntansi lebih banyak digunakan sebagai alat pertanggungjawaban kepada pemilik modal (kaum kapitalis) sehingga mengakibatkan orientasi perusahaan lebih berpihak kepada pemilik modal. Dengan keberpihakan perusahaan kepada pemilik modal mengakibatkan perusahaan melakukan eksploitasi sumber-sumber alam dan masyarakat (sosial) secara tidak terkendali sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan alam dan pada akhirnya mengganggu kehidupan manusia. Kapitalisme, yang hanya berorientasi pada laba material, telah merusak keseimbangan kehidupan dengan cara menstimulasi pengembangan potensi ekonomi yang dimiliki manusia secara berlebihan yang tidak memberi kontribusi bagi peningkatan kemakmuran mereka tetapi justru menjadikan mereka mengalami penurunan kondisi sosial Di dalam akuntansi konvensional (mainstream accounting), pusat perhatian yang dilayani perusahaan adalah stockholders dan bondholders sedangkan pihak yang lain sering diabaikan. Dewasa ini tuntutan terhadap perusahaan semakin besar. Perusahaan diharapkan tidak hanya mementingkan kepentingan manajemen dan pemilik modal (investor dan kreditor) tetapi juga karyawan, konsumen serta masyarakat. Perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap pihak-pihak di luar manajemen dan pemilik modal. Akan tetapi perusahaan kadangkala melalaikannya dengan alasan bahwa mereka tidak memberikan kontribusi terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Hal ini disebabkan hubungan perusahaan dengan lingkungannya bersifat non reciprocal yaitu transaksi antara keduanya tidak menimbulkan prestasi timbal balik. Tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang semakin bagus (good corporate governance) semakin memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan, dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Oleh karena itu dalam perkembangan sekarang ini akuntansi konvensional telah banyak dikritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga kemudian muncul konsep akuntansi baru yang disebut sebagai Social Responsibility Accounting (SRA) atau Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial. mengatakan bahwa kasus Enron di Amerika telah menyebabkan perusahaan-perusahaan lebih memberikan perhatian yang besar terhadap pelaporan sustainabilitas dan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Isu-isu yang berkaitan dengan reputasi, manajemen risiko dan keunggulan kompetitif nampak menjadi kekuatan yang mendorong perusahaan untuk melakukan pengungkapan informasi sosial. Dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh Finch (2005) menunjukkan bahwa motivasi perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial lebih banyak dipengaruhi oleh usaha untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder mengenai kinerja manajemen dalam mencapai manfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang. Standar akuntansi keuangan di Indonesia belum mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi sosial terutama informasi mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan, akibatnya yang terjadi di dalam praktik perusahaan hanya dengan sukarela mengungkapkannya. Perusahaan akan mempertimbangkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh ketika mereka memutuskan untuk mengungkapkan informasi sosial. Bila manfaat yang akan diperoleh dengan pengungkapan informasi tersebut lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mengungkapkannya maka perusahaan akan dengan sukarela mengungkapkan informasi tersebut. 1. pengungkapan sosial mempunyai hubungan yang positif dengan kinerja sosial perusahaan yang berarti bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas sosial akan mengungkapkannya dalam laporan sosial, 2. ada hubungan positif antara pengungkapan sosial dengan visibilitas politis, dimana perusahaan besar yang cenderung diawasi akan lebih banyak mengungkapkan informasi sosial dibandingkan perusahaan kecil, 3. ada hubungan negatif antara pengungkapan sosial dengan tingkat financial leverage, hal ini berarti semakin tinggi rasio utang/modal semakin rendah pengungkapan sosialnya karena semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit. Sehingga perusahaan harus menyajikan laba yang lebih tinggi pada saat sekarang dibandingkan laba di masa depan. Supaya perusahaan dapat menyajikan laba yang lebih tinggi, maka perusahaan harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya- biaya untuk mengungkapkan informasi sosial). investor individual tertarik terhadap informasi sosial yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Informasi tersebut berupa keamanan dan kualitas produk serta aktivitas lingkungan. Selain itu mereka menginginkan informasi mengenai etika, hubungan dengan karyawan dan masyarakat. menyajikan bukti empiris mengenai praktik pengungkapan lingkungan dan sosial pada perusahaan-perusahaan di New Zealand serta menguji beberapa hubungan potensial antara karakteristik perusahaan dengan pengungkapan sosial dan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan adanya konsistensi penelitiannya dengan penelitian yang sudah dilakukan di negara lain. Ukuran perusahaan dan industri berhubungan dengan jumlah pengungkapan sedangkan profitabilitas tidak. Interaksi antara ukuran perusahaan dan industri menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang lebih kuat antara perusahaan dalam industri yang high-profile dibandingkan dengan industri yang low-profile. Dalam pelaporan akuntansi sosial, diinformasikan seberapa besar manfaat sosial netto yang diberikan perusahaan pada masyarakat. Manfaat sosial netto tersebut, diperoleh dari selisih antara kontribusi suatu perusahaan kepada masyarakat (manfaat sosial) dengan kerugian yang ditimbulkan (biaya sosial). Namun dalam menentukan manfaat sosial netto tersebut tidaklah semudah menyajikan laporan keuangan biasa. Masalah yang muncul, terkait 1. bagaimana menentukan apa yang menjadi pos-pos biaya ataupun manfaat sosial perusahaan, 2. bagaimana mengukur (nilai moneter) biaya dan manfaat sosial yang ditimbulkan perusahaan. I. Penerapan akuntansi social ekonomi terhadap tanggung jawab social pada perusahaan. Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Ia bisa memberikan kesempatan kerja, menyediakan barang yang dibutuhkan masyarakat untuk dikonsumsi, ia membayar pajak, memberikan sumbangan, dan lain-lain. Karenanya perusahaan mendapat legitimasi bergerak leluasa melaksanakan kegiatannya. Setiap perusahaan didirikan dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Tetapi dibalik semua itu, ada hal lain yang lebih penting menyebabkan keberadaan dari perusahaan-perusahaan tersebut yaitu mencari keuntungan atau laba yang sebesar-besarnya dalam setiap aktivitas produksi mereka. Dalam upaya untuk mendatangkan laba tersebut, setiap perusahaan selalu berusaha mencari peluang dan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang dapat memberikan nilai tambah, dan pada akhirnya jika hal itu dibiarkan tidak terkontrol maka kemungkinan besar yang dapat timbul adalah dampak-dampak negatif yang dapat merugikan lingkungan dan masyarakat. Dampak-dampak yang semakin lama dan semakin besar serta sukar untuk dikendalikan ini seperti: polusi, keracunan, kebisingan, eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, diskriminasi, pemaksaan, kesewenang-wenangan, produksi makanan haram, sampai ke penipuan-penipuan terhadap konsumen seperti penjualan barang dengan kualitas rendah atau barang-barang yang sudah tidak layak pakai lagi (kadaluarsa), dan sebagainya. Dampak luar ini disebut Externalities. Karena besarnya dampak externalities terhadap kehidupan masyarakat, maka masyarakatpun menginginkan agar dampak ini dikontrol sehingga dampak negatif, external diseconomy atau social cost yang ditimbulkan tidak semakin besar. Karena besarnya dampak externalities terhadap kehidupan masyarakat, masyarakat pun menginginkan agar dampak ini dikontrol sehingga dampak negatif atau social cost yang ditimbulkan tidak semakin besar. Selain dapat menimbulkan social cost, dampak dari keberadaan perusahaan terhadap keadaan sosial masyarakat dan lingkungan juga merupakan biaya-biaya sosial yang bisa menunjukkan kontribusi positif atau manfaat keberadaan perusahaan kepada masyarakat (social benefits). Seiring dengan itu, akuntansi sebagai salah satu disiplin ilmu yang selalu mengikuti perkembangan lingkungan, harus mampu selalu berkembang dan menjangkau segala aspek yang ada. Enthoven (Harahap, 1992) menyatakan : “Akuntansi harus peka terhadap perubahan lingkungan yang terus menerus berlangsung, akuntansi harus waspada terhadap perubahan itu apakah melalui sistemnya yang dimilikinya maupun atas bantuan sistem informasi regional dan internasional, untuk menyakinkan agar produknya tetap relevan bagi pemakainya.” Dari sini berkembanglah ilmu akuntansi yang selama ini dikenal hanya memberikan informasi tentang kegiatan perusahaan dengan pihak ketiga, maka dengan adanya tuntutan ini, akuntansi bukan hanya merangkum informasi tentang hubungan perusahaan dengan pihak ketiga, tetapi juga dengan lingkungannya. Ilmu Socio Economic Accounting (SEA) atau istilah lainnya Environmental Accounting, Social Responsibility Accounting, dan lain sebagainya, yang merupakan bidang ilmu akuntansi yang berfungsi dan mencoba mengidentifikasi, mengukur, menilai, melaporkan pengaruh hubungan antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya yang ditunjukkan dengan adanya social benefit dan social cost. Akuntansi sosial ekonomi atau akuntansi pertanggungjawaban sosial merupakan alat yang sangat berguna bagi perusahaan dalam mengungkapkan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan melalui social reporting disclosure akan membantu pemakai laporan keuangan untuk menganalisis sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis. Di Indonesia bentuk akuntansi ini belum mempunyai format atau standar yang baku sehingga pelaporannya bersifat voluntary (sukarela), dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 Paragraf ke sembilan dinyatakan: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting”. PSAK tersebut tidak secara tegas mengharuskan perusahaan untuk melaporkan tanggung jawab sosial mereka. Pengelompokan, pengukuran, dan pelaporan juga belum diatur, jadi untuk pelaporan tanggung jawab sosial diserahkan pada masing-masing perusahaan. Berbeda dengan negara-negara Eropa, laporan yang dibuat bersifat mandatory (kewajiban) yaitu mewajibkan perusahaan-perusahaan terutama perusahaan yang telah go public untuk membuat sustainability reporting (Laporan Pertanggungjawaban) yang meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan yang terjadi di perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan akuntansi sosial ekonomi antara lain: United Airlines, General Motor U.S.A, Intel, dan British Telecom. Sebagai contoh : PT. Caltex Pacific (tambang minyak) di Pekanbaru, Riau, tiap terjadi banjir yang diakibatkan oleh Sungai Siak, senantiasa membantu para penduduk dengan memberikan bantuan obat-obatan dan membantu pemerintah daerah dalam membuat jembatan di atas Sungai Siak, sehingga melancarkan lalu-lintas antara Pekanbaru dan Dumai di pinggir laut. PT. Inalum di Sumatera Utara pada bulan puasa membantu masyarakat kota Medan dengan menyalurkan sebagian energi listriknya ke Medan sehingga umat Islam selama bulan puasa terjamin adanya penerangan terutama diperlukan pada waktu sahur malam. PT. Pupuk Sriwidjaja sebagai salah satu BUMN terbesar di Sumatera telah menyelesaikan proyek Pusri Effluent Treatment (PET) guna pengolahan limbah secara terpadu untuk memperbaiki kualitas limbah yang akan dibuang ke lingkungan sesuai dengan mutu limbah yang ditetapkan pemerintah dan Pusri juga telah menyalurkan dananya untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi. Memang tidak semua perusahaan menyebabkan dampak yang negatif seperti yang telah disebutkan di atas, hanya demi mengejar keuntungan yang berlipat ganda. Banyak perusahaan lain yang berusaha untuk memberikan servis atau layanan terbaiknya kepada lingkungan dan terutama kepada masyarakat. Berbagai kegiatan sosial dilakukan seperti : pendirian tempat ibadah, mensponsori kegiatan olahraga, memberikan beasiswa, pelayanan kesehatan terutama sekali memberikan bantuan kepada mereka yang telah berusaha mengolah limbah buangan pabrik mereka semaksimal mungkin sehingga kadar racun yang ada dapat dihilangkan atau tidak berbahaya bagi kehidupan.. Di dalam era perdagangan bebas (free trade) ini, isu-isu mengenai masalah sosial perusahaan akan membuat perusahaan lebih memperhatikan kelangsungan hidupnya karena pertimbangan berbisnis saat ini tidak hanya dilihat dari kualitas produk maupun kualitas perusahaan secara finansial tetapi juga dilihat dari performa tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini diharapkan dapat mendorong perusahaan bukan hanya mengejar keuntungan semata tetapi juga ikut memperhatikan dan peduli terhadap kondisi lingkungan sosialnya. Walaupun belum ada standar yang baku mengenai penerapan akuntansi sosial ekonomi ini tetapi penerapan ini bertujuan untuk menimbulkan dan meningkatkan kesadaran perusahaan terhadap tanggung jawab sosialnya. Dengan kenaikan biaya sosial yang terjadi dalam suatu perusahaan dapat diartikan bahwa terjadi peningkatan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) yang lebih dikenal sebagai PT Pusri, merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran pupuk. PT Pusri dengan Kantor Pusat dan Pusat Produksi yang berkedudukan di Palembang, Sumatera Selatan, merupakan produsen pupuk urea pertama di Indonesia. Sebagai warga dunia usaha yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, PT Pusri secara konsisten terus berupaya untuk maju sekaligus memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitarnya, terutama untuk menghindari dari isu-isu maupun sentimen negatif dari masyarakat yang terkait dengan dampak negatif yang timbul akibat kegiatan operasional perusahaan. Oleh karena itu, untuk meredam sentimen-sentimen negatif dari masyarakat sehingga akan memperlancar kegiatan operasional perusahaan dan juga guna meningkatkan dan menjaga nama baik PT Pusri, maka PT Pusri harus memperlihatkan tanggung jawab sosial yang dilakukan terhadap masyarakat.( contoh ini di ambil dari:http://ilmiahekonomi.blogspot.com/2010/03) BAB II A. kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan uraian tentang akuntansi sosial dan penerapannya di Indonesia diuraikan sebagai berikut 1. Akuntansi Sosial masih menjadi pro dan kontra di dunia akuntansi sampai saat ini mengingat masih terdapatnya pro dan kontra tentang sejauh mana perusahaan harus bertanggung jawab kepada lingkungan sosialnya 2. Akuntansi Sosial didefinisikanoleh para pakar akuntansi sebagai proses untuk mengukur,mengatur dan melaporkan dampak interaksi antra perusahaan dengan lingkungan sosialnya 3. Untuk mengukur manfaat social (social Benefit) maupun pengorbanan social (Social Cost) dapat dipergunakan cara penilaian pengganti, teknik survey dan keputusan dari pengadilan, dan beberapa teknik lainnya yang direkomendasikan oleh para ahli dan bukti-bukti empiris praktik akuntansi sosial di Amerika. 4. Pelaporan dan pengungkapan sosial di beberapa negara maju sudah lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mendeskripsikan kepedulian sosialnya kepada para pemakai laporan keuangan 5. Penerapan akuntansi sosial di negara Indonesia masih mengalami kendala-beberapa kendala, diantaranya kesadaran dunia bisnis yang masih rendah dan kurangnya penegakan aturan tentang tanggungjawab sosial perusahaan di Indonesia. 6. Praktik pengungkapan sosial perusahan-perusahaan di Indonesia juga masih sangat rendah 7. Peran dan penerapan akuntansi sosial perlu dikembangkan di Indonesia untuk dapat mendorong terciptanya tanggungjawab sosial perusahaan yang diharapkan mampu meminimalisir permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi oleh entitas bisnis di Indonesia, sehingga terjadinya iklim investasi yang sehat dan stabilitas ekonomi yang tangguh. DAFTAR PUSTAKA Arfan Ikhsan. 2008. Akuntansi Lingkungan dan Pengungkapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu Harahap sofyan syafari. Teori akuntansi. 2009. Jakarta. Penerbit : Raja wali pres Bastian indra. Akuntansi pendidikan. 2000. Jakarta. Penerbit : Erlangga Hadibroto. Masalah akuntansi. 1979. Jakarta. Penerbit : Fakultas ekonomi universitas indonesia. Hadibroto. Masalah akuntansi. 1990. Jakarta. Penerbit : fakultas ekonomi universitas indonesia Tunggal amin widjaja. Akuntansi sumber daya manusia. Penerbit : Rineka cipta DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Suyanto Nim : SE.090.126 Sms/Jrs : Tiga/ ekonomi islam akuntansi Alamat : Perum. Kota baru indah simpang rimbo Tanggal lahir : 20 mei 1990, Sidorejo Nama ortu - ayah : Sagimin - Ibu : Suyatni Motto : “ Hidup sekali menjadi ORANG”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar